
- Tanggal 13 September 2025
Disusun kembali oleh Dutarizkia Tour & Travel
Kementerian Baru, Harapan Baru
Pemerintah resmi membentuk Kementerian Haji dan Umrah sebagai upaya merapikan tata kelola ibadah haji dan umrah di Indonesia. Salah satu langkah awal adalah memindahkan 200 pegawai Kemenag dan 50 pegawai Kemenkes ke dalam kementerian baru ini.
Langkah ini memberi sinyal bahwa kementerian baru bukan sekadar mengurus administrasi keberangkatan jamaah, tetapi juga menaruh perhatian besar pada aspek kesehatan jamaah. Hal yang selama ini sering menjadi tarik-menarik antara Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.
Dengan adanya satu payung kelembagaan, diharapkan jamaah tidak lagi menjadi korban “tarik-ulur kewenangan” yang selama ini membingungkan.
Tiga Belas Kursi Eselon I: Seleksi atau Formalitas?
Kabar lain yang berhembus, kementerian baru ini akan memiliki 13 pejabat eselon I. Jumlah yang cukup besar. Bedanya, sebelum menduduki kursi strategis tersebut, setiap calon pejabat diwajibkan menjalani assesment integritas dan kompetensi.
Jika asesmen ini sungguh-sungguh dijalankan, maka reformasi birokrasi bisa dimulai dari level teratas. Tidak ada lagi kursi empuk hanya karena “warisan jabatan”. Sebaliknya, kementerian akan diisi oleh orang-orang yang benar-benar kompeten.
Namun, tentu masyarakat masih menyimpan keraguan. Apakah asesmen ini akan sekadar menjadi formalitas, atau sungguh-sungguh menjadi pintu masuk bagi profesionalisasi layanan ibadah haji dan umrah?
Transisi di Daerah: Praktis tapi Perlu Diawasi
Di level bawah, transisi berlangsung sederhana. Kabid Haji di provinsi otomatis menjadi Plt Kakanwil Haji dan Umrah, sementara Kasi Haji di kabupaten/kota naik menjadi Plt Kepala Kantor Haji dan Umrah.
Langkah ini memang praktis agar pelayanan tidak terhambat. Namun, tetap harus ada pengawasan serius agar pelayanan jamaah tetap berjalan baik di tengah masa transisi.
Pemerintah menargetkan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) rampung pada Oktober–November 2025, sehingga sebelum musim haji 2026, kementerian baru sudah beroperasi dengan mesin penuh.
Belajar dari Sejarah: Jangan Ulangi 1999
Sejarah memberi pelajaran penting. Tahun 1999, ketika kementerian baru lahir setelah reformasi, birokrasi sempat gagap. Pegawai bingung siapa atasan barunya, dokumen menumpuk tanpa tanda tangan, dan rakyat menjadi korban. Kementerian Haji dan Umrah tidak boleh mengulangi kegagalan itu. Dengan waktu yang singkat menuju musim haji 2026, pemerintah harus memastikan transisi berjalan mulus, terkoordinasi, dan berorientasi pada layanan jamaah.
Apa Artinya Bagi Travel Umrah dan Haji?
Bagi PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) dan PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus), sinyalnya sudah jelas:
Akan ada aturan baru terkait perizinan, standarisasi, dan pengawasan.
Ada kemungkinan muncul kewajiban tambahan, terutama dalam hal standar kesehatan jamaah.
Biaya operasional bisa meningkat, tapi di sisi lain, reputasi layanan juga bisa naik karena jamaah merasa lebih aman, sehat, dan nyaman.
Reputasi adalah modal utama bagi bisnis travel haji dan umrah. Karena itu, PPIU dan PIHK harus menyiapkan diri sejak dini menghadapi perubahan regulasi.
Momentum Profesionalisasi Layanan Haji dan Umrah
Di balik tantangan, ada optimisme. Kita sedang menyaksikan lahirnya proses profesionalisasi layanan ibadah. Bahwa haji dan umrah tidak lagi sekadar soal ritual, tapi soal manajemen kelas dunia.
Mulai dari:
Sistem tiket dan transportasi,
Akomodasi jamaah,
Layanan medis,
Hingga tata kelola digital yang transparan.
Semua harus diurus dengan standar profesional, akuntabel, dan transparan.
Peran Penting Asosiasi dan Stakeholder
Inilah saat yang tepat bagi asosiasi penyelenggara, seperti Amphuri, Kesthuri, dan Sapuhi, untuk aktif memberi masukan.
Kementerian baru ini sedang mencari bentuk. Maka, siapa yang bersuara sejak awal akan lebih didengar. Asosiasi harus:
Menyusun masukan regulasi,
Menyampaikan aspirasi anggota,
Bahkan mengajukan inovasi berbasis digital maupun kesehatan jamaah.
Dengan demikian, reformasi ini tidak hanya soal struktur kelembagaan, tetapi juga tentang transformasi manajemen ibadah.
Kesimpulan
Kementerian Haji dan Umrah adalah harapan baru dengan tantangan nyata. Apakah kementerian ini akan langsung mulus? Tentu tidak. Akan ada gesekan, ego sektoral, dan tarik-menarik kepentingan.
Namun, jika asesmen dijalankan serius, regulasi disusun dengan melibatkan stakeholder, dan birokrasi daerah diberi ruang inovasi, maka hasilnya bisa berbeda: layanan haji dan umrah yang lebih profesional, sehat, aman, dan nyaman.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Dan pantulan bolanya akan sampai ke tangan penyelenggara. PPIU, PIHK, dan asosiasinya tidak boleh pasif. Sebab reformasi ini bukan hanya soal nama kementerian baru, tetapi tentang cara baru mengurus ibadah umat dengan standar kelas dunia.
#Ke Baitullah Semakin Mudah