
- Tanggal 15 September 2025
Disusun kembali Oleh: Dutarizkia Tour & Travel
Fenomena Budaya Malu di Negara Lain
Di banyak negara maju, mundur dari jabatan publik dipandang sebagai bentuk tanggung jawab moral yang luhur. Seorang pemimpin memilih meletakkan jabatan bukan karena paksaan hukum, tetapi karena kesadaran bahwa legitimasi politik lahir dari kepercayaan publik. Lihatlah Jepang. Perdana Menteri Shigeru Ishiba pada 7 September 2025 memilih mundur setelah koalisi yang dipimpinnya kalah telak dalam pemilu. Ia juga memikul tanggung jawab atas salah kelola pasokan beras.
Tak hanya itu, sejumlah menteri di Jepang rela turun jabatan karena persoalan sepele, seperti salah ucap atau masalah pajak. Di Inggris, Angela Rayner, Wakil Perdana Menteri, juga mundur setelah terbukti lalai membayar pajak properti. Sementara di Korea Selatan, Chung Hong-won melepaskan jabatan Perdana Menteri usai pemerintah dinilai lamban menangani tragedi tenggelamnya kapal Sewol.
Contoh-contoh ini menegaskan bahwa di luar negeri, jabatan publik bukan sekadar kedudukan, melainkan amanah dengan standar moral tinggi.
Indonesia: Budaya Mundur Masih Tabu
Sayangnya, hal yang sama belum menjadi tradisi di Indonesia. Budaya mundur masih jarang tumbuh, bahkan dianggap tabu. Banyak pejabat tetap bertahan meski terjerat kasus hukum, skandal moral, atau kehilangan legitimasi publik. Alih-alih menjunjung etika, budaya politik kita lebih sering mengedepankan kalkulasi kekuasaan. Padahal, seperti diungkap Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), legitimasi sosial merupakan modal utama dalam membangun tata kelola pemerintahan yang efektif.
Pentingnya Budaya Malu dalam Politik
Budaya malu dan tanggung jawab moral mestinya ditanamkan sejak awal, terutama melalui pendidikan politik bangsa. Partai politik, sebagai gerbang utama rekrutmen pejabat, harus membekali kader dengan kesadaran bahwa kekuasaan adalah mandat rakyat, bukan hak milik pribadi. Mengapa ini penting? Karena kepercayaan publik adalah modal sosial yang mahal. Ketika kepercayaan runtuh, fondasi pembangunan politik ikut hancur. Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang menempatkan “mundur” sebagai puncak tanggung jawab, bukan sebagai tanda kelemahan.
Tantangan Bagi Pemerintahan Prabowo
Presiden Prabowo Subianto sering menyampaikan pesan tegas dalam berbagai kesempatan resmi: pejabat yang tidak bersih harus membersihkan diri sebelum dimundurkan oleh presiden. Pertanyaannya, apakah pernyataan ini hanya sekadar gertak sambal untuk popularitas politik, atau benar-benar akan diwujudkan dalam praktik pemerintahan? Rakyat tentu menanti pembuktian. Jangan sampai sindiran Prabowo terhadap lawan politiknya justru menjadi cermin balik yang menampar dirinya sendiri: “Omon-Omon.”
Penutup
Sudah saatnya Indonesia membangun tradisi politik yang sehat dengan menjadikan pengunduran diri sebagai bentuk penghormatan terhadap rakyat dan demokrasi. Seorang pejabat yang berani mundur bukan berarti gagal, melainkan menunjukkan integritas, moralitas, dan tanggung jawab publik yang sejati.
#Ke Baitullah Semakin Mudah